Jumat, 05 Juni 2009

Lelaki Yang Dipanggil Ayah

Walau dengan sayap patah mencoba menghantar sang putra ke singgasana dunia, agar keluar dari lingkaran kehinaan. Dengan rintihan tertahan menahan beban rasa bersalah akan keterbatasan keadaan yang mengikat kaki dan tangan sang buah hati. Merangkak di pinggiran tipu daya dunia dalam keterpaksaan. Beban itu sungguh berat kiranya untuk dipikul sendirian. Tidak setetespun air mata yang rela bergulir membagi beban.

Ayah......panggilan yang membuat tulang gemetarmu tiba-tiba menguat. Desakan gemuruh dalam dada yang melahirkan kekuatan baru untuk hari ini. Mengais di atas air yang tiada berkejelasan.

Menata topangan demi topangan sang penerus yang mulai resah, walau jiwanya sendiri telah kehilangan sandaran. Berbisik dengan kalimat -kalimat indah yang menguatkan tekad, walau tekadnya sendiri telah goyah. Menghapus setiap butiran kesedihan walau airmatanya sendiri mengalir deras kedalam.

Menata mimpi anak yang beranjak dewasa dalam ketidakpercayaan diri, walau mimpinya sendiri telah porak poranda oleh badai entah dari mana. Bercerita tentang tingginya dunia yang akan ditapaki, walau cerita itu telah usai dijejal.

Tiada sia-sia segalanya...... Tuhan telah berbicara. Sang putra telah duduk di singgasananya. Lalu dimana sang ayah? Duduk menyendiri dalam rasa bangga disudut bayang-bayang yang penuh pertanyaan kedalam. Gembira dan sedih yang berpadu melahirkan dorongan aneh yang mengguncangkan. Keseimbangan yang hilang setelah lama dipeluk erat dalam timbul dan tenggelam.

Ayah......aku pernah bertanya, dengan apakah gerangan bisa ku gendong engkau keluar dari kabut hatimu. Saat aku telah engkau lempar keluar dari selimut kekalahan, engkau sendiri terdiam dalam balutannya yang sesak mencengkeram.

Dan kemudian Tuhan menjawab.....hari ini engkau kembali dalam dirimu yang kokoh, karena berkah buatmu telah dijanjikan. Kemuliaan dunia sampai hari akhir nanti akan membasuh seluruh derita perjalanan yang kini menjadi kenangan. Tinggal satu bebanmu untuk istri yang masih kebingungan dalam badai jiwa kebimbangan.


Denpasar, Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar